Thursday, December 4, 2014

Legenda dibalik Keindahan Gunung Bromo

Bromo merupakan nama sebuah gunung berapi yang berada di jawa timur tepatnya di kabupaten probolinggo. Gunung Bromo termasuk gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur.

Gunung Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut dan di apit oleh empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang.

Pada Aktikel kali ini saya akan membahasa tentang asal usul Gunung Bromo yang mana Bagi penduduk Bromo, suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.

Legenda ini di mulai kala ketika kerajaan majapahit mengalami serangan dari berbagai daerah penduduk pribumi kebingungan untuk mencari tempat tinggal hingga pada akhirnya mereka terpisah menjadi 2 bagian yan pertama menuju ke gunung Bromo, kedua menuju Bali. Ke 2 tempat ini sampai sekarang mempunyai 2 kesamaan yaitu sama – sama menganut kepercayaan beragama Hindu. Disebut suku Tengger di kawasan Gunung Bromo, Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng juga Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger itu. “Teng” akhiran nama Roro An-”teng” dan “ger” akhiran nama dari Joko Se-”ger” dan Gunung Bromo sendiri dipercaya sebagai gunung suci. Mereka menyebutnya sebagai Gunung Brahma. orang Jawa kemudian menyebutnya Gunung Bromo.

Di sebuah pertapaan, istri seorang Brahmana / Pandhita baru saja melahirkan seorang putra dengan fisiknya sangat bugar dengan tangisan yang sangat keras ketika lahir, karenanya bayi tersebut diberi nama ” JOKO SEGER “.

Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya cantik juga elok. Dia satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu. Ketika dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai Rara Anteng.

Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko Seger.

Suatu hari Rara Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat. Rara Anteng terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika matahari terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng tersebut.

Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) sehingga pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu? Rara Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu.

Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba, tetapi penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.

Bajak mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Rasa kesal dan marah dicampur emosi, pada akhirnya Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang sampai sekarang dinamakan Gunung Batok.

Dengan kegagalan Bajak itu membuat lautan di tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara Anteng. Ia melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari, Rara Anteng dan Joko Seger menikah sehingga menjadi pasangan suami istri yang bahagia, karena keduanya saling mengasihi dan mencintai.

Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger Yang Budiman”. Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.

Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar di karuniai keturunan.

Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya, kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata tentang Sejarah Gunung Bromo | Legenda Bromo Tengger, pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita sehingga kawah Gunung Bromo menyemburkan api.

Kusuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api kemudian masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib: ”Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Syah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji yang berupa hasil bumi kemudian di persambahkan kepada Hyang Widi asa di kawah Gunung Bromo. sampai sekarang kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
Semoga cerita ini menjadi sejarah budaya yang tak terlupakan, hingga sampai sekarang Gunung Bromo menjadi tempat begitu indah juga menjadi lokasi Wisata Bromo meski di selimuti banyak misteri.
No comments

Wednesday, December 3, 2014

Sejarah Kerajaan Melayu Tua Jambi

Kerajaan Melayu Jambi adalah nama sebuah kerajaan tua di Nusantara. Kerajan Melayu Jambi pernah ditaklukan oleh kerajaan besar yang ada diindonesia seperti Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit. Sebelumnya kerajaan ini mempunyai peran penting di sumatera dan selalu bersahabat dengan negara tetangga seperti Cina, dan lain-lain. Dan juga merupakan kerajaan besar terletak di propinsi Jambi saat ini. Dan pernah pula setelah Sriwijaya diujung tanduk setelah ditaklukan majapahit menjadi bagian dari melayu Jambi,sampai pada memeluk kesultanan Islam, dan sampai pada kolonialis Belanda tiba.

Setelah Kerajaan Sriwijaya musnah di tahun 1025 karena serangan Kerajaan Chola dari India, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari. Mereka kemudian bergabung dengan Kerajaan Melayu Tua yang sudah lebih dulu ada di daerah tersebut, dan sebelumnya merupakan daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya.

Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, menaklukan Sriwijaya. Situasi jadi berbalik dimana daerah taklukannya adalah Kerajaan Sriwijaya. Pada masa itu Kerajaan Melayu Jambi, dikenal sebagai Kerajaan Dharmasraya. Lokasinya terletak di selatan Kabupaten Sawah Lunto, Sumatera Barat, dan di utara Jambi.

Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Diantaranya yang cukup terkenal adalah rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) yang menikah dengan Puti Reno Mandi. Sang raja dan permaisuri memiliki dua putri yang cantik jelita, yaitu Dara Jingga dan Dara Petak

 

Dara Jingga

Di tahun 1288, Kerajaan Dharmasraya, termasuk Kerajaan Sriwijaya, menjadi taklukan Kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Senopati Mahisa/Kebo/Lembu Anabrang, dalam ekspedisi PAMALAYU 1 dan 2. Sebagai tanda persahabatan, Dara Jingga menikah dengan Senopati dari Kerajaan Singasari tersebut. Mereka memiliki putra yang bernama Adityawarman, yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dan sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa sebagai penguasa Kerajaan Dharmasraya berikut jajahannya, termasuk eks Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Anak dari Adityawarman, yaitu Ananggavarman/Ananggawarman menjadi penguasa Palembang di kemudian hari. Sedangkan Dara Jingga dikenal sebagai Bundo Kandung/Bundo Kanduang oleh masyarakat Minangkabau.

 

Dara Petak

Di tahun 1293, Mahisa/Kebo/Lembu Anabrang beserta Dara Jingga dan anaknya, Adityawarman, kembali ke Pulau Jawa. Dara Petak ikut dalam rombongan tersebut. Setelah tiba di Pulau Jawa ternyata Kerajaan Singasari telah musnah, dan sebagai penerusnya adalah Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu Dara Petak dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan: Raden Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara setelah menjadi Raja Majapahit kedua.

 

Fakta

Terjadi pertalian darah melalui perkawinan antara Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, Kerajaan Majapahit, dan (eks)Kerajaan Sriwijaya di era tersebut.
1 comment

Sedikit Paham Asal Usul Banyuwangi

Banyuwangi adalah “The Sun Rise of Java”, karena lokasinya yang berada di paling ujung timur pulau Jawa, berseberangan langsung dengan pulau Dewata Bali.

Dengan luas Wilayahnya adalah 5.782,50 km2, yang merupakan daerah kawasan hutan. mencapai 183.396,34 ha atau sekitar 31,72%, persawahan sekitar 66.152 ha atau 11,44%, perkebunan dengan luas sekitar 82.143,63 ha atau 14,21%, permukiman dengan luas sekitar 127.454,22 ha atau 22,04%. Adapun sisanya seluas 119.103,81 ha atau 20,63 persen dipergunakan untuk berbagai manfaat fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti jalan, ruang terbuka hijau, ladang, tambak dan lain-lainnya. 

Kawah Ijen adalah salah satu tempa wisata di daerah banyuwangi yang begitu mempesona, Anda dapat menyaksikan panorama memikat ini pada saat malam hari hingga menjelang subuh, yakni adanya danau belerang yang berwarna tosca dan api biru (blue fire). 

Sego Tempong Banyuwangi juga adalah salah satu kuliner yang sudah tidak asing lagi bagi para penikmat kuliner nusantara, dengan ciri khas sambal yang segar dengan tingkat rasa pedas yang luar biasa itu sangat digemari penikmatnya. Namun tahukan Anda tentang sejarah terbentuknya nama Banyuwangi? nah disinilah saya akan menceritakan sedikit sejarah terbentuknya nama Banyuwangi.

Konon, dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya sehingga membuat sang Raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa. Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukanya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.

Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.

Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.

Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.

Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari, ia    menjerit "Banyu..... ... wangi............... . Banyu    wangi ... .." Banyuwangi terlahir dari bukti cinta istri    pada suaminya.
1 comment

Sejarah Jam Gadang Bukittinggi

Siapa yang belum tahu tentang Jam Gadang Bukittinggi? bagi Anda yang ingin mengunjung provinsi sumatra barat jangan sampai melewatkan tempat wisata yang satu ini. Dari menara Jam Gadang, para wisatawan bisa melihat panorama kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit, lembah dan bangunan berjejer di tengah kota yang sayang untuk dilewatkan. Simbol khas Sumatera Barat ini memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun. Sejarah jam Gadang dimulai pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Jam Gadang ini dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota).

Bangunan Jam Gadang mempunyai denah dasar berukuran 13 x 4 m. Sebelah dalam menara jam mempunyai tinggi 26 m itu tersusun dari sejumlah tingkat, dimana tingkat paling atas adalah area penyimpanan bandul. Bandul itu pernah patah sampai mesti diganti karena gempa di thn. 2007. Ada 4 jam yang mempunyai garis tengah tiap-tiapnya yaitu 80 cm. Jam itu dikirim langsung dari Rotterdam, Belanda lewat pelabuhan Teluk Bayur serta digerakkan menggunakan mekanik.

Rancangan menara jam tersebut dibuat Yazid Rajo Mangkuto. Pembuatan Jam Gadang menggunakan anggaran kurang lebih 3000 Gulden, terhitung spektakuler untuk kondisi saat itu. Semenjak pertama dibuat sampai diresmikannya, menara jam tersebut sudah sebagai titik perhatian tiap-tiap orang. Hal itu lah yang menyebabkan Jam Gadang selanjutnya digunakan menjadi penanda atau landmark sekaligus titik nol Kota Bukittinggi.

Mesin jam serta permukaan jam terdapat di satu tingkat di bawah tingkat teratas. Di sisi lonceng tercantum produsen jam yakni Vortmann Relinghausen. Vortman merupakan nama belakang pencipta jam, Benhard Vortmann, adapun Recklinghausen merupakan nama sebuah kota di Jerman sebagai daerah dibuatnya mesin jam di thn. 1892. Mesin Jam Gadang diyakini hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.

Semenjak dibangun, menara jam itu sudah melalui 4 kali renovasi model atapnya. Pertama dibangun di era Hindia-Belanda, atap Jam Gadang berwujud bulat yang mempunyai patung ayam jantan menjurus ke timur di atasnya. Berikutnya di waktu pendudukan Jepang diganti jadi model pagoda. Belakangan sesudah Indonesia merdeka, atap Jam Gadang diganti lagi jadi model gonjong atau atap rumah adat Minangkabau yaitu Rumah Gadang. Rehab paling akhir yang dilaksanakan terhadap Jam Gadang ialah di thn. 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) bersama bantuan pemerintah kota Bukittinggi serta Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Rehab itu diresmikan pas di ulang tahun kota Bukittinggi ke 262 yaitu 22 Desember 2010 silam.
No comments